UTUSANRIAU.CO, RENGAT - Hingga sore hari, Kamis (19/9) pukul 17.40 wib kondisi udara dalam wilayah Inhu masih berkabut asap hitam. Akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi diberbagai lokasi.
Akibatnya, kualitas udara menjadi tidak sehat. Namun demikian, pemerintah daerah setempat masih tidak bisa memastikan kualitas udara yang dihirup masyarakat. Karena alat pengukur udara untuk mengetahui Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) tidak tersedia.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Ir Selamat MM kepada wartawan mengakui, pihaknya tidak bisa memastikan kadar polutan yang terkandung pada udara yang dihirup masyarakat. Sehingga asap yang mencemari udara Inhu tidak bisa diketahui apakah masuk kategori tidak sehat atau berbahaya.
Untuk itulah, DLH Inhu akan mengusulkan anggaran pengadaan alat ukur udara melalui APBD murni 2020. Namun bila usulan anggaran tersebut tidak bisa masuk dalam APBD murni, Selamat menyebut, akan mengusulkan dalam APBD Perubahan 2020.
Dikatakan, untuk harga alat pengukur udara tersebut berkisar antara Rp300 juta sampai Rp5 miliar. Namun untuk kebutuhan di Inhu, bisa menggunakan alat pengukur portebel. "Alat pengukur kualitas dan polusi udara tersebut sangat penting untuk mengetahui kualitas udara saat kabut asap karhutla muncul," ujarnya.
Selama ini, polusi udara di Inhu dihasilkan dari sektor ekonomi dan industri. Sekarang bertambah dari kabut asap karhutla. "Dengan alat pengukur udara itu, pemerintah bisa melakukan pemetaan dan mengambil kebijakan untuk masyarakat," kata Selamat.
Kebakaran sudah cukup lama terjadi seperti didesa Seko Libuk Tigo (Seluti) Kec Lirik lebih dari setengah bulan. Lahan gambut yang terbakar sudah mencapai ratusan hektar, namun ISPU disekitar lokasi kebakarn belum bisa diketahui secara pasti akibat tidak tersedianya alat, tetapi dampaknya dirasakan masyarakat yang sudah banyak terserang ISPA. **das
###