Studi Komparatif ke Riau, Pasca Covid -19, DPRD Sumbar Dalami Strategi Menggenjot Sektor Ekonomi

Selasa, 09 Maret 2021 | 00:51:37 WIB
Studi Komparatif ke Riau, Pasca Covid -19, DPRD Sumbar Dalami Strategi Menggenjot Sektor Ekonomi

UTUSANRIAU.CO, PEKANBARU - Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat berkunjung ke Dinas Pertanian Provinsi Riau, dalam rangka studi komparatif,  "Upaya pemerintah provinsi Riau dalam rangka peningkatan pendapatan petani, peternak, Nelayan dan mengurangi jumlah pengangguran serta percegahan kebakaran lahan dan hutan."

Komisi bidang ekonomi tersebut ingin menggali strategi daerah itu dalam menggenjot ekonomi di masa pandemi Covid-19. Rombongan yang berjumlah sekitar 20 orang di pimpin langsung Ketua Komisi II DPRD Provinsi Sumatera Barat Arkardius menjelaskan, provinsi Riau juga memiliki potensi ekonomi di sektor pertanian, perikanan, perindustrian, perdagangan peternakan dan perkebunan. 

"Melalui kunjungan ini, kami ingin mendalami bagaimana Riau menggenjot sektor tersebut untuk mendorong perekonomian masyarakat dan mendatangkan pendapatan asli daerah (PAD)," kata Ketua Komisi II DPRD Sumbar dalam pemaparannya di hadapan kadis pertanian provinsi Riau  dan sejumlah pejabat di lingkungan dinas pertanian riau, Senin (08/03/21).

Potensi - potensi yang dimiliki Provinsi Riau tersebut juga dimiliki oleh Sumatera Barat. Mulai dari pertanian, peternakan, kelautan dan perikanan, kehutanan, perkebunan dan sebagainya.

 "Ini yang perlu kita dalami, untuk mencari pembanding, masukan dan saran sehingga nanti bisa diterapkan juga di Sumbar," ujarnya. 

Selain itu, lanjut Arkardius, Komisi II DPRD Sumatera Barat juga menggali strategi Riau dalam mengatasi persoalan pengangguran. Dalam kesempatan itu DPRD Sumbar juga membawa dinas terkait seperti dinas perikanan dan kelautan, dinas pertanian, dinas perkebunan dan dinas peternakan provinsi Sumbar.

Selanjutnya, Kepala Dinas Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura (DPTPH) Provinsi Riau, Syahfalefi menjelaskan, Komisi II DPRD Sumatera Barat datang untuk mempertanyakan potensi pasar yang ada di Riau yang bisa dipenuhi di Sumatera Barat. 

Seperti di sektor pertanian termasuk beras, ternak, perikanan, dan lain sebagainya. Itulah yang mereka harapkan informasi-informasi itu yang bisa dikerjasamakan dalam menjami ketersediaan ketahanan pangan di Riau. 

“Pada prinsipnya, kita menyambut kerjasama itu sehingga menjamin ketersediaan pangan di Riau,” ujarnya.

Kini, Riau masih defisit sekitar 68% termasuk hasil tani seperti beras. Untuk memenuhi defisit itu Riau mendapatkan dari Provinsi tetangga, yakni Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Lampung. 

Harapan kedepan, pada 2024, angka defisit tersebut bisa menjadi 50%. Maka ada program Riau Bertani untuk memenuhi 50% kebutuhan pangan terutama beras di Provinsi Riau pada tahun 2024. Artinya, masih ada 18% harus dipenuhi dari target. Sementara, dari sisi kebutuhan harus 98%. 

Syahfalefi juga katakan, bicara ketahan pangan berarti bicara ketersediaan. Kalau bicara produksi artinya bicara produksi hasil sesuai yang kita butuhkan. 

Ada MoU antara gubernur se-Sumatra dan selanjutnya akan ada Perjanjian Kerja Sama  (PKS) antara dinas dengan dinas.
Secara lebih teknis apa yang kita butuhkan dan apa yang bisa kita jual. Misal, apa yang kita butuhkan dari Sumatera Barat dan apa yang bisa kita jual ke Sumatera Barat. Sistem ketersediaan itu dipayungi oleh kerjasama itu sendiri. 

“Dengan keterbatasan dana pada saat ini, maka kita lakukan kerjasama dengan pihak swasta dengan CSRnya untuk mendorong pilot project di beberapa daerah nantinya,” ujar Syahfalefi.

Beberapa daerah di Riau sudah jadi sentra padi. Seperti Rohil, Siak, Pelalawan, dan Inhil, termasuk juga Rohul. Ada tiap daerah yang luas lahannya belum sampai 5000 hektar, ada yang 5000 hektar, dan ada yang diatas 10.000 hektar. 

Insfratruktur menjadi sangat penting, termasuk jaringan irigasi, kerjasama dengan Dinas Pekerjaan Umum (PU). Tanpa bangunan jaringan primer dan sekunder maka Dinas Pertanian tidak bisa berbuat banyak. 

Syahfalefi katakan, malah sekarang banyak lahan sawit ditumbangkan untuk jadi padi. Analisanya, bila masyarakat bisa tanam padi dua kali, maka padi akan jadi menguntungkan dari sawit. Tapi, kalau mereka selama ini mereka hanya tanam sekali, maka sawit lebih menguntungkan dari padi. 

Tidak ada hal yang signifikan dalam alihfungsi lahan, terutama lahan eksisting. Karena lahan bakunya ada, pada umumnya lahan baku itu tidak cocok juga untuk tanam sawit. Sehingga, mereka merasa tidak efektif dan efesien juga untuk menanam sawit. 

“Ini sebuah pilihan, jadi kita hanya menawarkan pilihan. Orang selalu dihantui alihfungsi lahan. Belum ada secara teknis itu alihfungsi lahan. Di mana alih fungsi lahan itu terjadi? Malah di Siak itu, orang nebang sawit untuk nanam padi. Di Rohil orang nebang sawit untuk nanam padi,” tutup Syahfalefi.**Warno/red

Terkini