Proses Rekrutmen Cakada Sarat Kepentingan Politik dan Praktik Tak Wajar

Proses Rekrutmen Cakada Sarat Kepentingan Politik dan Praktik Tak Wajar
Wakil ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa

UTUSANRIAU.CO -

Wakil ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa menilai proses rekrutmen calon kepala daerah yang sarat kepentingan politik dan praktik tak wajar, menimbulkan konglomerasi  bagi pemilik modal dan dinastik politik. Sebab banyak calon kepala daerah memiliki akses kekuasaan dengan petinggi partai dan praktik rekrutmen instan lainnya.

"Praktik seperti ini menghambat munculnya calon-calon kepala daerah yang memiliki kualifikasi yang memadai untuk menjadi kepala daerah. Bahkan calon-calon yang kader murni partai," kata Saan dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema "Kekhawatiran Menguatnya Dinasti Politik" di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (28/7/2020).

Saan berpendapat proses rekrutmen calon kepala daerah menjadi bagian penting yang harus kita pikirkan. Celah hukum dalam UU Pilkada menjadi pintu masuk untuk menggeser calon dari unsur kader murni partai yang seharusnya mendapat prioritas tiket maju dalam pilkada. Celah hukum itu juga yang memberi ruang pasar gelap rekrutmen calon pilkada bagi seseorang mendapatkan rekomendasi dukungan dari partai.

"Bahkan bagi pemilik modal di dalam dukungan itu ada istilah konglomerasi
yang misalnya bisa membuat calon tersebut menjadi calon tunggal. Untuk mengalahkan pertahana, dia borong partai , " kata politikus Partai Nasdem tersebut.

Saan mengatakan untuk menutup ruang konglomerasi dan memborong partai, maka syarat dukungan untuk maju menjadi calon kepala daerah itu sebaiknya diturunkan. Milsanya tidak perlu harus mendapatkan 20 persen berdasarkan kursi DPRD setempat, tetapi cukup 10 persen saja.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Zulfikar Arse Sadikin mengakui proses rekrutmen menjadi barometer berfungsi tidaknya proses pendidikan dan pembinaan partai. "Kalau fungsi rekrutmen partai berjalan mestinya partai tak perlu membuka bukan pendaftaran. Masa nggak tau mana kader partai yang layak," sebut Zulfikar.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini mengingatkan dinasti politik menunjukkan kuatnya oligarki sebuah partai yang dianggap bisa membahayakan partai itu sendiri karena cenderung destruktif.  Sebab, oligarki partai telah menjadikan semuanya ditentukan elit partai di tingkat pusat. Dampaknya terjadi hegemoni di semua lini partai mulai dari pembiayaan, keputusan, dan lainnya yang ditentukan oleh pimpinan parpol. 


"Jadi, parpol ini menyumbang kekerabatan dan praktek transaksional dalam politik sangat besar. Ditambah lagi kesadaran masyarakat rendah, maka upaya melanggengkan kekuasaan itu tak berubah," sebut Titi.

Anggota Komisi II DPR lainnya Mardani Ali Sera menyoroti munculnya dinasti politik dalam proses rekrutmen calon kepala daerah. Menurutnya dinasti politik membuat wajah demokrasi di daerah menjadi sangat buruk, bahkan menjadi residu dalam politik. **Bambang S

 

Berita Lainnya

Index