Diwilayah Barat Riau, berbatasan langsung dengan Sumatera Barat, bermukim komunitas Melayu dengan gaya bicara khas dan tradisi kekeluargaan yang erat. Mereka dikenal sebagai suku Melayu Ocu, yang hingga kini tetap melestarikan kearifan lokal dalam menjaga keharmonisan keluarga.
Badunsanak Sampai ka Surgo
Pepatah lama “Badunsanak sampai ka surgo” (Bersaudara hingga ke surga) masih sering terdengar di tengah masyarakat Ocu. Ungkapan ini bukan sekadar kata-kata, melainkan tercermin nyata dalam kehidupan sehari-hari mereka. Konsep keluarga bagi orang Ocu mencakup bukan hanya ayah, ibu, dan anak, tetapi juga kerabat hingga sepupu tingkat ketiga dan keempat.
Pak Ujang, seorang sesepuh masyarakat Ocu berusia 78 tahun dari Desa Pulau Birandang, mengungkapkan "Dolu, kok nak tau apo itu keluargo, indak ado istilah sodaro jauh. Sadonyo dunsanak, sadonyo karib”( Terjemahan: bahwa pada masa dahulu, konsep keluarga tidak membedakan saudara dekat atau jauh; seluruh kerabat diperlakukan dengan keakraban yang sama.
Tradisi Makan Bajamba
Dalam kehidupan keluarga Melayu Ocu, makan bajamba atau makan bersama merupakan tradisi yang masih sangat dijaga. Seluruh keluarga besar duduk bersila melingkar di atas tikar, dengan makanan tersaji di bagian tengah. Tanpa menggunakan meja dan kursi, tradisi ini menciptakan suasana akrab dan penuh kebersamaan. "Dulunyo, lepas sholat Magrib, nasi tu dak olah bajamba di tengah rumah. Anak-anak, cucu-cucu, menantu, sadonyo bakumpul. Makan nyo indak pakai pinggan sorang-sorang, tapi satu talam godang untuk belimo atau bonam oghang," ceghito Mak Ijah, nenek Ocu dari kampuang Desa Pulau Birandang. (Terjeramahan: "Dulu, setelah sholat Magrib, nasi itu langsung dihidangkan untuk makan bersama di tengah rumah. Anak-anak, cucu-cucu, menantu, semuanya berkumpul. Makannya tidak pakai piring masing-masing, tapi satu talam besar untuk berlima atau berenam orang," cerita Mak Ijah, nenek Ocu dari Desa Pulau Birandang .
Dalam tradisi makan bajamba, ada aturan tidak tertulis mengenai siapa yang duduk di mana. Biasanya, para tetua duduk di sisi yang berhadapan dengan pintu masuk, sementara yang lebih muda duduk sesuai dengan urutan usia. Selain itu, ada juga aturan tentang cara mengambil makanan.
“Awak harus menunggu yang lebih tuo mengambil makanan dulu. Dan jangan sampai mengulurkan tangan melewati di depan orang lain," tambah Mak Ijah. (Terjemahan: "Kita harus menunggu yang lebih tua mengambil makanan dulu. Dan jangan sampai mengulurkan tangan melewati di depan orang lain")
Manduo (Bermusyawarah Keluarga)
Masyarakat Melayu Ocu dikenal dengan ikatan kekerabatan yang erat. Saat menghadapi masalah dalam keluarga, mereka memiliki tradisi manduo, yaitu musyawarah keluarga untuk mencari solusi bersama.
Dulu, tak ado masalah yang tak selesai dalam keluargo. Segalo persoalan diselesaikan dengan caro manduo," ujar Bang Ridwan, seorang budayawan Ocu dari Bangkinang.
ulu, tidak ada masalah yang tidak selesai dalam keluarga. Segala persoalan diselesaikan dengan cara bermusyawarah).
Trdisi manduo umumnya dilaksanakan di rumah tertua dalam keluarga, yang dikenal sebagai 'rumah pusako' atau rumah warisan. Semua pihak yang terlibat dalam masalah akan diundang, termasuk juga para tetua keluarga yang dianggap bijaksana.
Yang manarik, dalam manduo itu selalu ado makanan. Makan samo-samo dulu, baru bicaro masalah. Jadi kepalo dingin, ati tanak panas," tambah Bang Ridwan sambil tertawa.
Yang menarik, dalam bermusyawarah itu selalu ada makanan. Makan bersama dulu, baru bicara masalah. Jadi kepala dingin, hati tidak panas).
Balimau Kasai: Tradisi Menyambut Bulan Suci
Salah satu tradisi keluarga yang masih dijaga dengan kuat oleh masyarakat Melayu Ocu adalah Balimau Kasai, yaitu ritual mandi menggunakan air jeruk yang dilaksanakan sehari sebelum bulan Ramadhan.
“Menjelang bulan puasa, keluarga berkumpul di tepi sungai. Mereka mandi bersama menggunakan air yang sudah dicampur dengan perasan jeruk nipis, jeruk purut, atau jeruk kasturi," kata Uni Fatimah, seorang ibu rumah tangga asal Ocu yang tinggal di Pekanbaru.
Tradisi ini menjadi waktu bagi keluarga besar untuk berkumpul, bahkan anggota keluarga yang merantau akan berusaha pulang untuk merayakannya. Balimau Kasai diyakini sebagai simbol pembersihan diri sebelum memasuki bulan yang penuh berkah."Tentu saja, yang paling menyenankan bagi anak-anak adalah saat berkumpulnya keluarga besar. Sepupu-sepupu yang biasanya jarang bertemu akan saling siram air dan bermain di sungai," tambah Uni Fatimah dengan ekspresi penuh kenangan.
Sulang Sulung dalam Perjodohan
Masyarakat Melayu Ocu memiliki adat khusus dalam perjodohan yang disebut 'sulang sulung'. Adat ini menetapkan bahwa anak pertama dalam keluarga harus menikah terlebih dahulu sebelum saudara-saudaranya yang lebih muda.“Kok ado adiak yang nak kawin doluan, mesti minta izin kepado kakak yang belum kawin. Ada prosesi 'manggatikan' dengan memberikan hadiah khusus kepado kakak yang 'dilangkahi'," jelas Etek Rahmah, seorang penjaga tradisi Ocu di Desa Kuapan.
Hadiah yang diberikan biasanya berupa kain atau pakaian lengkap, yang melambangkan 'mengganti' posisi kakak yang belum menikah. Tradisi ini bertujuan untuk menjaga perasaan dan menghormati urutan keluarga.
Ini bukan soal tahayul atau apo, tapi lebih ka soal adat dan sopan santun dalam keluargo," tambah Etek Rahmah
Jalang Menjalang: Tradisi Silaturahmi Lebaran
Suasana Lebaran di kampung-kampung Ocu selalu penuh keceriaan. Tradisi 'jalang menjalang', yakni saling berkunjung antar keluarga besar, dilaksanakan dengan cara yang sangat teratur.
"Setelah sholat Ied, keluarga akan mulai berjalan dari satu rumah ke rumah lainnya. Yang muda akan mengunjungi yang lebih tua terlebih dahulu. Jadi, anak-anak dan cucu-cucu akan pergi ke rumah orang tua, lalu ke rumah paman dan bibi, sesuai urutan usia," kata Pak Malin, seorang tokoh adat di Kabupaten Kampar.
Yang menarik dari tradisi ini adalah pola kunjungan yang dilakukan secara teratur dan berurutan, tanpa boleh melewati urutan yang telah ditetapkan dalam adat. Saat berkunjung, tuan rumah akan menyajikan makanan khas Lebaran seperti lemang, lopek bugi (lepat bugis), dan gulai ikan dengan kuah yang sangat pedas.
Tunjuak Ajar: Pendidikan Karakter dalam Keluarga
Dalam tradisi keluarga Melayu Ocu, terdapat sistem pendidikan karakter yang dikenal dengan istilah 'tunjuak ajar' (tunjuk ajar). Sistem ini berisi kumpulan nilai dan ajaran hidup yang diteruskan secara turun-temurun melalui nasihat dan pepatah.
"Orang Ocu dari dulu mendidik anak-cucunya bukan dengan teori, tapi dengan contoh dan pepatah. Misalnya 'Elok dipakai, buruk dibuang', yang artinya ambil yang baik dan tinggalkan yang buruk," jelas Atok Zubir, seorang pemuka masyarakat (Terjemahan: Dalam tunjuk ajar ini, anak-anak diajarkan untuk menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dan selalu menjaga silaturahmi dengan keluarga besar) Walaupun modernisasi telah mempengaruhi banyak tradisi keluarga Melayu Ocu, nilai-nilai dasar dari tradisi tersebut tetap dipertahankan oleh banyak keluarga. Di kota-kota besar seperti Pekanbaru, Jakarta, dan bahkan di luar negeri, keturunan Ocu tetap berupaya menjaga tradisi keluarga mereka, meskipun dengan cara yang lebih sederhana. ***
Penulis : Ella Kumala dewi
Jurusan: pengembangan masyarakat Islam
Mahasiswa Institut agama Islam Diniyyah Pekanbaru.
