UTUSANRIAU.CO - Larangan kantong plastik sekali pakai atau tas kresek bukan konsep baru di Amerika. Ratusan kota sudah menerapkannya dan di banyak tempat para peritel memungut bayaran untuk tas belanja yang mereka sediakan, bahkan untuk kantong kertas.
Kebijakan pemerintah untuk membatasi atau melarang penggunaan tas kresek sangat menggembirakan para aktifis dan masyarakat yang prihatin dengan menumpuknya limbah plastik yang tidak bisa didaur ulang dan baru bisa terurai dalam waktu ratusan tahun bahkan ribuan tahun sehingga membahayakan lingkungan hidup.
Terlepas dari tujuan baiknya, kebijakan untuk membatasi atau melarang penggunaan tas kresek di Amerika telah menimbulkan tentangan bertubi-tubi dari industri plastik yang rela mengeluarkan dana jutaan dolar untuk membatalkan pemberlakuannya di tingkat kota maupun negara bagian.
Di California misalnya, walaupun kebijakan untuk membatasi dan melarang penggunaan tas kresek sudah dimulai sejak Desember 2007 di salah satu kota besarnya, San Fransisco, dan disusul puluhan kota lainnya, negara bagian itu baru meloloskan legislasi yang melarang penggunaan tas kresek pada tahun 2014, dengan rencana akan mulai berlaku pada Juli 2015.
Ini merupakan kemenangan besar pertama bagi pencinta lingkungan di tingkat negara bagian. Tapi legislasi itu ditangguhkan pemberlakuannya tahun lalu setelah kelompok pro-tas kresek berhasil mengumpulkan cukup tanda tangan untuk membuat larangan itu menjadi referendum pada pemilu bulan November 2016.
Mengapa legislasi demikian menimbulkan pro-kontra dan bahkan bisa gagal?
Sembari menjawab pertanyaan di atas, saya ingin berbagi cerita tentang sejarah larisnya penggunaan kantong plastik ini dan mengapa sampai dimusuhi pencinta lingkungan.
Pada tahun 1962, seorang penemu Swedia, Sten Thulin, mengajukan paten di Amerika untuk kantong plastik tipis yang dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki daya tahan yang menakjubkan. Pada awal tahun 1980-an, jaringan supermarket di Amerika mulai menggunakan kantong plastik karena jauh lebih murah.
Seribu kantong plastik hanya membutuhkan $24, sementara kantong kertas dalam jumlah yang sama bisa menelan biaya $30. Maraknya penggunaan tas kresek ini semula mendapat acungan jempol dari aktifis lingkungan karena tidak mengorbankan pohon.
Pada akhir tahun 1985, sekitar 75 persen supermarket menawarkan kantong plastik kepada pelanggan mereka, tapi pelanggan masih lebih suka kantong kertas. Pengguna kantong plastik hanya 25 persen pada waktu itu, tapi dalam dekade berikutnya, kantong plastik telah merebut 80 persen pasar.
Keberhasilan tersebut kemudian menimbulkan berbagai masalah. Karena ringan dan aerodinamis kantong plastik ini mudah terbang dari tempat sampah, menyangkut di pohon, pagar dan menyumbat got sehingga petugas dinas kebersihan kewalahan mengatasinya. Para pencinta lingkungan kesal karena tas kresek ini mengotori pantai, danau dan sungai, membahayakan makhluk hidup di sana. Banyak orang juga menjadi prihatin karena tas plastik yang waktu pakai rata-ratanya hanya 12 menit ini dibuang begitu saja karena murah dan mudah didapat dan akhirnya menumpuk di TPA selamanya.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, pemerintah kota dan negara bagian yang ingin mengurangi biaya pembersihan sampah plastik, tentu dengan desakan dari kelompok-kelompok pencinta lingkungan, mulai membuat berbagai jenis peraturan untuk mengurangi atau bahkan melarang penggunaan tas kresek di supermarket dan toko-toko besar lainnya.
Selain melarang penggunaan tas kresek seperti di San Francisco, ratusan kota lain di Amerika juga menerapkan peraturan yang membolehkan peritel menyediakan tas belanja berbayar yang ramah lingkungan (tas kresek yang bisa dikompos, tas kertas daur ulang, atau tas plastik tebal yang dapat digunakan kembali). Pembeli dapat menghindari biaya antar 5 sampai 25 sen itu dengan membawa tas mereka sendiri.
Larangan dan biaya tersebut telah terbukti secara dramatis mengurangi penggunaan tas plastik sekali pakai di berbagai kota di Amerika.
Tapi setelah dua tahun diterapkan di Austin, Texas, hasil peninjauan dewan kota itu baru-baru ini menunjukkan dampak yang tidak diinginkan. Sampah tas kresek memang jauh berkurang, tapi orang sekarang memperlakukan tas belanja tebal yang dapat digunakan kembali sama seperti tas kresek.
Tampaknya pembuat kebijakan di kota itu tidak menduga bahwa walaupun bukan tas gratis, masyarakat tetap membuangnya dengan mudah. Tas pakai ulang itu serta kantong kertas sudah diketahui meninggalkan jejak karbon yang jauh lebih tinggi dari pada tas kresek.
Laporan dewan kota Austin itu juga menunjukkan peraturan tersebut meningkatkan pengeluaran, baik konsumen maupun peritel. Konsumen mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli tas yang bisa digunakan kembali dan bisnis kehilangan pelanggan yang tidak suka dengan peraturan kota itu dan belanja ke kota lain yang tidak memberlakukannya.
Temuan-temuan di atas menjadi alasan tambahan bagi kelompok pro-tas kresek untuk menuntut agar larangan tersebut dicabut. Kelompok bisnis American Progressive Bag Alliance sebelumnya bersikeras mengatakan larangan itu menghapus ribuan lapangan kerja terkait industri plastik.
Menurut mereka, konsumen dipaksa untuk membayar sepuluh sen per kantong kertas tapi bukan untuk dana memperbaiki lingkungan, hanya masuk ke kantong pedagang.
Selain itu larangan kantong plastik sekali pakai umumnya tidak seragam, peraturan yang ada masih membolehkan beberapa pengecualian, misalnya bungkus plastik untuk dry cleaning, bungkus permen, dan plastik kemasan makanan di restoran. Tentu ini menimbulkan kebingungan di kalangan bisnis dan masyarakat yang akhirnya ikut memrotes.
Legislasi yang dipandang tambal sulam juga menjadi pertimbangan senat di negara bagian Wisconsin yang memutuskan untuk melarang pemerintah daerah memberlakukan larangan tas kresek dan kemasan sekali pakai lainnya, baik itu terbuat dari kertas, logam maupun kaca. Sejumlah negara bagian lain juga melarang pemerintah kota menerapkan peraturan sendiri terkait tas kresek ini termasuk Arizona.
Menurut National Conference of State Legislatures, enam negara bagian dan daerah khusus ibu kota District of Columbia telah meloloskan legislasi terkait tas kresek, bukan hanya larangan dan tas belanja berbayar tapi juga promosi kantong belanja yang terbuat dari kertas dan tas kain, kewajiban toko melakukan program daur ulang yang mudah bagi konsumen dan kewajiban pabrik untuk membuat tas yang bisa dikompos lebih mudah dikenali dan memiliki label yang jelas, serta denda bagi toko yang melakukan pelanggaran.
Tapi satu hal yang disepakati semua pihak dan perlu digalakkan adalah upaya menyadarkan masyarakat akan pentingnya melakukan daur ulang untuk mengurangi sampah di komunitas mereka.**
Adriana Sembiring/voa indonesia.com
###
