PASIR PENGARAIAN - Kepala Kantor Kementerian Agama Rohul, Drs H Ahmad Supardi Hasibuan MA mengimbau adanya perbedaan waktu Idul Adha 1435 H harus disikapi dengan bijak jangan sampai merusak ukhuwah Islamiah. Seperti diketahui, Sabtu (4/10/2014) umat Muhammadiyah sudah merayakan Idul Adha. sedangkan pemerintah baru keesokan harinya.
"Hendaknya perbedaan jatuhnya hari raya Idul Adha ini tidak merusak ukhuwah Islamiyah," ujar Supardi, Jumat (3/10/2014) di kantornya, Jalan Ikhlas Kompleks Perkantoran Pemerintah, Kota Pasir Pengaraian.
Dikatakan, sebenarnya waktu Hari Raya Idul Adha itu seluruh ulama Islam di seluruh dunia, sepakat (Ijma’) bahwa Hari Raya Idul Adha adalah pada tanggal 10 Zulhijjah setiap tahun, yang berbeda itu adalah kapan waktunya 10 Zulhijjah itu sesuai dengan penghitungan bulan Syamsiyah (masehi).
Lebih lanjut Dikatakan, Idul Adha itu 10 Zulhijjah dalam hukum Islam disebut dengan Syari’ah yaitu penetapan langsung dari Allah dan RasulNya. Sedangkan kapan jatuhnya 10 Zulhijjah itu adalah disebut dengan Fiqh yaitu pemahaman para ulama terhadap
Syari’ah itu.
Dalam hal Syari’ah para ulama tidak berbeda pendapat, sebab tataran ini menjadi wewenang Allah dan RasulNya. Sedangkan Fiqh adalah tataran para ulama dalam memahami Syari’ah, sehingga tak bisa dihindari dan bahkan terbuka lebar untuk perbedaan pendapat, contohnya penetapan 10 Zulhijjah.
Supardi juga menjelaskan ada dua metode besar dalam penetapan 10 Zulhijjah, termasuk 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Pertama, dengan metode rukyah, yaitu menetapkan awal hari bulan dengan melihat bulan secara langsung. Kedua, dengan metode hisab, yaitu menghitung peredaran bulan secara ilmu pengetahuan.
Kedua metode ini, sama-sama benar, dapat dibenarkan, dan dapat diikuti, sebab sama-sama memiliki dasar yang kuat dalam penetapannya. Untuk itu, mari kita sikapi perbedaan ini secara arif dan bijaksana, sebab yang namanya fiqh membuka peluang besar untuk terjadinya perbedaan. Dan perlu disadari bahwa perbedaan pendapat itu adalah rahmat, tegas Ahmad Supardi. (ar)
