Dua abad silam, seorang pujangga dan guru bahasa tanah Melayu, Abdullah bin Abdul Qadir Munsyi menggubah bait syair: "Belalang menjadi burung elang, Kutu menjadi kura-kura, dan Ulat berubah jadi Naga". Dalam syairnya itu, Munsyi tak hendak menggumam tentang teori evolusi Darwin. Ia sedang bicara tentang perubahan sosial yang tak menentu pada bangsanya. Ia sedang menyajikan metafora ala orang Melayu tentang situasi yang tak jelas lacurnya. Bagi orang Jawa, mungkin syairnya sepadan dengan frasa “Petruk jadi Ratu". Situasi yang tak masuk akal, tak layak. "Meleset"istilah orang-orang Pekanbaru sekarang.
Munsyi paham betul kalau belalang mustahil jadi elang, atau kutu menjadi kura-kura. Itu perubahan yang terlalu kasar, terlalu melompat-lompat, tak karuan prosesnya. Yang ia paham adalah kekuasaan Tuhan bisa mengubah ulat menjadi kepompong yang bermetamorfosa menjadi kupu-kupu yang cantik lewat satu proses luar biasa ajaib namun tetap gradual, estetis dan alamiah. Tak ada loncatan-loncatan abnormal di sana. Kritik Munsyi bisa dirasakan dengan lebih jelas ketika kita menjejak bait lanjutan dari syairnya: "Bahkan seorang yang hina dan bodoh dapat pandai dan terhormat, jika memiliki harta. Sedangkan orang miskin tidak dipandang walau pandai dan terhormat".
Kini, setelah dua ratus tahun lebih, syair Munsyi di atas tetaplah mengena. Kita sungguh seperti hidup di alam antah-berantah. Keantah-berantahan itu termanifestasi dalam tiga situasi: kezaliman, kebodohan, dan kegilaan. Zalim berlawan dengan kata adil yang bermakna menempatkan sesuatu pada posisinya. Dan zaman yang kita harungi di Riau saat ini memanglah zalim, mempertahankan terdakwa sebagai penyelenggara negara dari balik bilik penjara, bahkan digelar dengan setinggi puja; “Setia Amanah” katanya.Di sisi lain, pemuda-pemuda yang entah siapa -tak pernah terdengar baktinya duniawi maupun ukhrawi, tiba-tiba mengklaim diri menjadi “tokoh pemuda” atau “penerus pahlawan bangsa” hanya bermodal baliho empat kali enam meter bergambar dirinya sedang mengepal-ngepal tangan bak Bung Karno di setiap persimpangan jalan dan sudut-sudut kota.Ajib...
Bodoh pun bukanlah jahil biasa semcam buta aksara. Kebodohan yang dimaksud adalah apa yang disebut Imam Ghazaali sebagai “hamaqah”, yakni bodoh tentang cara pencapaian tujuan. Kebodohan lapis dua, yang lahir dari induk kebodohan asasi, yakni ketidaktahuan tentang tujuan hidup. Ditelannya mentah-mentah bisikan arwah Machiavelli, "Engkau harus bisa kaya dengan segala cara".
Korupsi, menipu, manipulasi dan sebagai perbuatan tak senonoh lainnya menjadi cara meniti karir. Jadi pejabat haruslah pandai menjilat dan tahu timing untuk berkhianat, menjadi selebriti mempersyaratkan menjual diri. Mempertahankan comfort zone harus dengan menjadikan diri sebagai pihyak anti perubahan dan pro status-quo.
Gila, artinya sudah salah tujuan. Salah menentukan arah dan tujuan hidup, salah pula arah perjuangan. Akarnya kembali pada hamaqah atau kebodohan tadi; yang bodoh tentang negeri impian akan keliru mendayung sampan; yang bodoh akan makna hidup tentu salah menapaki hidup; yang jahil tentang arti ibadah tak pernah mendapatkan manisnya muraqabah.
Oleh itu, aktivitas untuk kepentingan pribadi (linnafsi), untuk memperkaya diri (lil mal) atau semata untuk kehormatan diri sendiri (lil jah) tiba-tiba diklaim menjadi Demi Allah (Lillah). Maka di negeri kita ini sudah standar langgam para koruptor; “Doakan kami sabar menjalani ‘cobaan’ ini, kami sudah berbuat yang terbaik untuk rakyat”.
Tapi zaman yang dihadapi Munsyi lebih baik daripada masa kita!
Tatkala zamannya menggila, sang pujangga, sang munsyi (guru bahasa) bijak bestari itu masih tegak membela. Kepalanya tak tunduk pada kuasa, kritiknya tajam, syairnya sinis. Sementara di negeri kita hari ini, para pemangku adat telah ikut-ikutan tertular gila. Gelar kehormatan diberikannya pada orang yang sedang disangsikan kemuliaannya. Tak hendak dicabut, konon pula dijadikan tameng.
Tameng adat untuk Paduka. Biarlah salah beribu banyaknya, dengan balutan gelar kehormatan, sirna dan pudarlah semuanya. Bergantilah salah dan dosa itu menjadi kemuliaan, kepahlawanan, kesetia-amanah-an. Ulama abad pertengahan, Ibnul Jauzy, menamai aktivitas tipu-tipu seperti ini sebagai talbis. Dan kerja talbis, hanya dilekatkan kepada Iblis.
Entah sejak kapan dalam dunia Melayu ini raja dipertuhankan. Sudah salah pun tak bisa disalahkan. Padahal kita sama tahu, ketika Datuk Demang Daun Lebar dahulu kala membuat undang-undang, ia titahkan,"Raja tak boleh menghina rakyat, rakyat tak boleh durhaka pada raja”. Apa kira-kira konsekuensinya jika Tuan Raja terduga, bukan sekedar menghina rakyat, namun didakwa menyimpang dan menyengsarakan rakyatnya? Apakah tak berlaku lagi “Raja ‘alim raja disembah, raza zalim raja disanggah".
Ataukah raja lalim menurut "amandemen adat” tuan-tuan pemangku amanah di Lembaga Adat saat ini tetap patut untuk disembah, dipuja, dibesuk bergerombol-gerombol, ditunggui penuh khidmat di anjungan bandar udara?Jika demikian, maka layaklah kita bertaubat dan beristighfar seluruhnya.
Sekarang saatnya kita mendengarkansuara jujur nurani orang muda. Saatnya membuka telinga teriakan jujur para mahasiswa, yang kadang suaranya kasar namun niatnya sungguh benar. Mereka yang karena gejolak mudanya tak mampu menyampaikan kritik lewat petitih, tapi langsung ke inti persoalan lewat demonstrasi dengan bahasa yang pedas dan pedih. Dengarkanlah mereka tuan-tuan.
Sudahilah segala telenovela ini. Biarkan yang terdakwa mempertanggungjawabkan salah yang didakwakan atasnya dalam mahkamah yang murni. Jangan lagi berselindung dibalik gelaran adat yang diada-adakan. Tak cukupkah dahulu kasus pidana penyelenggara pilkada di Pekanbaru diselesaikan “secara adat”?Tak selamanya kasus pidana bisa disilap-sulap atas nama perkongsian adat.
Kalau Tuan-tuan di sana tak mendengarkan juga, kalau tetap saja lembaga dan tokoh adat berselingkuh dengan pemegang dana dan kuasa, maka kami serukan saja pada khalayak: abaikan sajalah mereka dan segala helah istiadatnya.Kembali kita pada adat Melayu yang paling tinggi: “adat sebenar adat", adat bersendi Kitabullah, adat paling suci, murni dan hakiki karena bersandar pada kejujuran dan kebenaran dari Allahta’ala.
Penulis:
Andree, M.A.
(Mantan aktivis mahasiswa nasional, Dekan Fisipol Universitas Abdurrab)
