Literasi Sebagai Telaga Kehidupan

Literasi Sebagai Telaga Kehidupan
Kitty Andriany, S.Pd. (Guru Konsultan-Dompet Dhuafa)###

Buku adalah jendela dunia. Lewat buku, kita bisa melihat banyak hal tentang dunia. Dari buku juga berbagai ilmu dapat kita pelajari. Bacaan adalah vitamin bagi jiwa, ibarat buah-buahan yang selalu memenuhi kebutuhan vitamin bagi tubuh. Faktanya, pelajar masa kini enggan membaca buku. Membaca menjadi aktivitas yang sangat berat bagi mereka. Buku menjadi bahan bacaan yang tidak mendapat banyak perhatian karena kalah menarik dengan permainan-permaianan modern berbasis teknologi. Game online misalnya. Ironinya, pada era global ini buku memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan.

Tidak heran jika negara Indonesia menempati urutan bawah dalam literasi dunia. Menurut hasil kajian Program For International Student Assessment (PISA) pada tahun 2012 tingkat membaca pelajar Indonesia menempati urutan ke-64 dari 65 anggota PISA dengan skor 396 dari standar 496. 

Hal ini disebabkan budaya literasi mayarakatnya masih sangat rendah. Sejak 16 tahun silam, Indonesia telah ikut dalam proyek penelitan dunia untuk mengukur literasi membaca, matematika dan ilmu pengetahuan alam. Dari proyek penelitian dunia tersebut, terbukti memang Indonesia merupakan negara yang kurang daya bacanya dalam literacy purpose. Kebanyakan orang Indonesia membaca atas dasar information purpose (Aulia, 2014). 

Literasi adalah kemampuan hidup (life skill). Oleh karena itu, literasi merupakan kebutuhan hidup 
masyarakat maju. Tentu saja rendahnya literasi seseorang menghambat kemajuan hidup suatu bangsa.

Berdasarkan konteks penggunaannya Baynham (1995) menyatakan bahwa literasi merupakan integrasi keterampilan menyimak, berbicara, menulis, membaca, dan berpikir kritis. Maka hal itu terkait dengan kemampuan bahasa seseorang. Bahasa itu sendiri sangat erat dan tidak dapat dipisahkan hubungannya dengan budaya. Kehidupan 
yang bermutu tentulah hidup yang memiliki budaya literasi yang baik. 

Tingginya tingkat literasi seseorang akan menjadikan orang tersebut mampu melakukan fungsi-fungsinya di dalam kehidupan. Hal itu terlihat dari kemampuan seseorang dalam berbicara, memahami sebuah informasi dengan baik sehingga pada akhirnya mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di dalam hidup. Dengan demikian berarti seseorang belajar mengembangkan potensi-potensi dalam dirinya untuk mencapai tujuan Setiap orang adalah makhluk sosial. Makhluk sosial memerlukan keterampilan berbahasa dalam melakukan fungsinya di dalam kehidupan masyarakat. 

Untuk itu, kemampuan literasi sangat penting menjadi bekal diterimanya seseorang di dalam wadah masyarakat itu sendiri. Tingginya tingkat literasi seseorang terlihat dari sejauh mana keluwesannya dalam berinteraksi dan bekerja sama di dalam lembaga-lembaga sosial yang ada di masyarakat.

Tingginya tingkat keberhasilan literasi seseorang sebagai makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat dipengaruhi oleh peran literasi di dunia pendidikan. Hal tersebut karena seorang pelajar lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah atau lingkungan pendidikan lainnya. Sehingga penyadaran literasi sejak dini yang paling efektif dilakukan adalah dengan melibatkan dunia pendidikan.  Karena tidak dipungkiri,sebuah program yang sistematik bisa masuk dengan efektif melalui proses pendidikan. 

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) N0 20/2003 pasal 4 ayat 5 menjelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Budaya membaca dan menulis harus diterapkan sedini mungkin terutama oleh guru. Seorang guru harus mampu menjadi teladan serta memberi motivasi kepada siswa untuk membudayakan membaca dan menulis. Hal ini karena sebagian besar proses pendidikan bergantung pada kemampuan dan kesadaran literasi. Semakin tinggi tingkat literasi pelajar maka akan semakin tinggi pula tingkat mutu pendidikannya. Budaya literasi mempengaruhi tingkat keberhasilan peserta didik baik di dalam dunia pendidikan maupun di dalam kehidupan bermasyarakat. Terutama apabila budaya literasi ini disertai dengan aplikasi nyata. 

Sederhananya, hal itu terlihat dari perbedaan siswa yang di dalam kelasnya hanya mendapatkan pembelajaran lewat metode ceramah dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui metode problem solving, diskusi atau praktek langsung. Misalnya, ketika guru hanya mengajarkan apa itu pidato, seperti apa susunan dan bagaimana teknik-teknik yang baik dalam berpidato melalui ceramah saja tentu akan berbeda jika guru mengajak siswa mengalami langsung seperti apa dan bagaimana berpidato di depan kelas. Literasi siswa yang dibimbing untuk praktek langsung jauh lebih baik dibandingkan dengan siswa yang hanya mendapatkan ilmu secara teoritis saja. Siswa yang praktek langsung mengalami proses menyimak, membaca, menulis, berbicara dan berpikir kritis. Hal ini sejalan dengan ungkapan Magnessen (dalam Silberman, 1996) bahwa “Kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan".

Kemampuan literasi dalam hal ini dapat diartikan juga sebagai proses membaca. Membaca yang dimaksud adalah membaca dalam konteks yang sangat luas. Bagi masyarakat muslim, pentingnya membaca ditekankan dalam wahyu pertama Allah kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu perintah membaca (iqra’). Membaca untuk memahami, membaca untuk menganalisis lingkungan dan masalah sekitar untuk kemudian dapat digunakan sebagai bahan untuk memecahkan sebuah persoalan kehidupan. Hal ini juga dipertegas dengan sabda Rasulullah SAW : "Siapa saja yang 
menginginkan sukses di dunia, maka raihlah dengan ilmu. Siapa saja yang menginginkan sukses di akhirat, maka raihlah dengan ilmu. Dan siapa saja yang menginginkan sukses di dunia dan akhirat, maka raihlah keduanya dengan ilmu".

Adapun kaitannya dengan menulis, Hernowo (2005) dalam bukunya "Mengikat Makna” mengatakan bahwa menulis dapat membuat pikiran kita lebih tertata tentang topik yang kita tulis, membuat kita bisa merumuskan keadaan diri, mengikat dan mengonstruksi gagasan, mengefektifkan atau membuat kita memiliki sugesti (keyakinan/pengaruh) positif,  membuat kita semakin pandai memahami sesuatu (menajamkan pemahaman), meningkatkan daya ingat, membuat kita lebih mengenali diri sendiri, mengalirkan diri, membuang kotoran diri, merekam momen mengesankan yang kita alami, meninggalkan jejak pikiran yang sangat jelas, memfasihkan komunikasi, memperbanyak kosa kata, membantu bekerjanya imajinasi, dan menyebarkan pengetahuan. 

Melihat kenyataan yang ada bahwa masyarakat Indonesia memiliki tingkat literasi yang masih rendah maka diperlukan sebuah perubahan. Perubahan disini dapat kita mulai dari dimensi pendidikan. Seperti dengan mengadakan program budaya literasi di sekolah-sekolah yang ada di negeri ini dengan sasaran kegiatan mengajak semua pihak untuk terlibat dalam upaya penyadaran literasi yakni: Sekolah, sebagai lembaga terlaksananya program. Guru sebagai tenaga pendidik, teladan dan motivator bagi peserta didik.  Siswa sebagai sasaran utama program. Pemerintah daerah (dinas pendidikan) dan yayasan penyelenggara pendidikan sebagai pembuat kebijakan. 

Pengelola perpustakaan sebagai pusat kegiatan baca-tulis. Perusahaan sebagai supplier buku melalui program CSR dan media massa sebagai saluran informasi. Kegiatan yang akan dilakukan dalam program penyadaran literasi melalui sekolah ini misalnya dengan membiasakan anak-anak didik terampil membaca setiap hari, mendekatkan siswa 
kepada perpustakaan melalui kegiatan perpustakaan kelas, lomba literasi pada bulan bahasa atau hari-hari besar yang diperingati secara nasional, jumpa penulis dan bedah buku, pameran buku, pelatihan menulis, pemberian penghargaan melalui kegiatan bertajuk Literacy Award hingga memasukkan literasi karakter ke dalam kurikulum 
tersembunyi sebuah sekolah. 

Kita telah sampai di persimpangan. Di tepian telaga peradaban terpancar. Dari sinilah semua makna indah bermula. Jalan-jalan penyelesaian dari persoalan hidup terbaca, menjadi radar kebijaksanaan sikap. Maka singgahlah sejenak lalu teguk airnya yang terpancar dengan menjadikan Dia sebagai permulaan. 

 

Penulis: 


Kitty Andriany, S.Pd. SGI XVI Professional Class,
(Guru Konsultan-Dompet Dhuafa)

Kitty Andriany. Alumnus Pendidikan Fisika FKIP Universitas Riau. Semasa kuliah aktif di UKMI Al-Maidan dan Forum Lingkar Pena cabang Pekanbaru. Saat ini sedang mengabdikan dirinya di dunia pendidikan sebagai Guru Konsultan Yayasan Dompet Dhuafa dengan program Sekolah Literasi Indonesia di daerah penempatan Kab. Kp. 
Meranti, Riau.

###

Berita Lainnya

Index