Meretas Literasi Menuai Karakter

Meretas Literasi Menuai Karakter
Kitty Andriany, S.Pd. Guru Konsultan Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa###

SECARA SEDERHANA, literasi berarti kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara. Dalam konteks kekinian, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy: Profile of America’s Young Adult, mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau 
cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. 

Lebih jauh, seseorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya. Membaca adalah perilaku positif. Perilaku yang harus diawali dengan pembiasaan (conditioning) sebelum akhirnya mendarah daging dalam keseharian kita. Ketika aktivitas 
membaca sudah menjadi kebiasaan, maka aktivitas membaca pun terus menerus kita lakukan tanpa harus dipaksa. Banyak orang pintar dan cerdas disebabkan dari rajin membaca. 

Membaca juga bisa membuat orang lebih dewasa. Dewasa dalam artian memiliki pola pikir yang tidak lagi kekanak-kanakan. Dari membaca, seseorang bisa memandang setiap permasalahan hidup bukan sebagai beban, namun tantangan yang harus diselesaikan. Hal tersebut karena membaca membantu mengembangkan cara berpikir sehingga seseorang dapat memandang suatu permasalahan yang dihadapi dari berbagai sisi untuk bisa lebih bijaksana 
dan arif dalam menjalani kehidupan. 

Saat ini, tengah digalakkan Gerakan Literasi Sekolah. Gerakan ini dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Yayasan pendidikan sebagai pembuat kebijakan. Gerakan yang diharapkan dapat mendidik budi pekerti siswa ini tidak hanya berupa kegiatan membaca, tetapi juga menulis. 

Berbagai kajian menunjukan bahwa menulis memberi banyak manfaat bagi seseorang. Hernowo (2005) dalam bukunya "Mengikat Makna" mengatakan bahwa menulis dapat membuat pikiran kita lebih tertata tentang topik yang kita tulis, membuat kita bisa merumuskan keadaan diri, mengikat dan mengonstruksi gagasan, mengefektifkan atau 
membuat kita memiliki sugesti (keyakinan/pengaruh) positif,  membuat kita semakin pandai memahami sesuatu (menajamkan pemahaman), meningkatkan daya ingat, membuat kita lebih mengenali diri sendiri, mengalirkan diri, membuang kotoran diri, merekam momen mengesankan yang kita alami, meninggalkan jejak pikiran yang sangat jelas, memfasihkan komunikasi, memperbanyak kosa kata, membantu bekerjanya imajinasi, dan menyebarkan Indonesia memiliki budaya tutur penuh dengan muatan nilai, termasuk nilai pendidikan karakter. 

Pendidikan karakter tersebut dalam literatur islam dapat juga disebut sebagai akhlak. Menurut Akramullah Syed (2011), akhlak merupakan istilah dalam bahasa Arab yang merujuk pada praktik-praktik kebaikan, moralitas dan perilaku yang baik. Istilah akhlak sering diterjemahkan sebagai perilaku islami (islamic behaviour), sifat atau watak (disposition), perilaku baik (good conduct), kodrat atau sifat dasar (nnature), perangai (temper), etika atau tata susila (ethics), moral dan karakter.  

Salah satu cara menanamkan pendidikan karakter yang baik adalah melalui kegiatan membaca dan menulis atau memahami sesuatu hal positif berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari membaca. Sedangkan lingkungan yang paling cocok untuk melakukan penananaman karakter adalah lingkungan keluarga dan sekolah. Jika kita melihat kondisi pada zaman ini, anak-anak atau para pelajar lebih banyak menghabiskan efektivitas waktunya untuk belajar di sekolah ketimbang di rumah. Oleh karena itu, lingkungan pertama yang paling efisien untuk menggalakkan budaya literasi adalah sekolah.

Mengapa kegiatan literasi sekolah menjadi sangat penting? Hasil studi the Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) melalui program PISA-nya menunjukkan kemampuan siswa Indonesia dalam bidang literasi masih tertinggal dari negara lain, berada pada ranking 61 pada 2012. Hanya 1,5 persen siswa Indonesia yang 
mencapai level empat, sisanya pada level tiga ke bawah dari tujuh level penjenjangan program PISA. Artinya, hanya 1,5 persen siswa Indonesia yang punya kemampuan menjawab soal yang perlu pemikiran, sisanya pada peringkat kemampuan menjawab soal hafalan. Siswa Indonesia lebih mampu menghafal daripada berpikir. Selain itu, minat membaca bangsa ini sangat rendah, yang dalam bahasa Taufik Ismail, kondisi itu digambarkan sebagai tragedi, dengan sebutan tragedi nol buku untuk siswa Indonesia. Dua fakta tersebut menjadikan program literasi sekolah sangat strategis sebagai ajang penanaman karakter.

Program literasi sekolah ini dapat diaplikasikan dengan melakukan hal sederhana sebelum pembelajaran dimulai. Misalnya dengan meluangkan waktu selama 15 menit untuk menjalankan jadwal pelajaran "penanaman budaya literasi" di kelas. Siswa-siswa membaca buku-buku bermanfaat baik fiksi, umum ataupun buku pelajaran untuk kemudian setelah kegiatan membaca mereka diminta untuk menuliskan hikmah atau pelajaran apa yang telah mereka dapatkan dari proses membaca tersebut. 

Dari kegiatan membaca ini diharapkan siswa mampu menerapkannya ke dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi sebuah karakter baik. Misalnya, ketika seorang anak membaca tentang "I can say Alhamdulillah" anak akan memahami bahwa ketika seseorang mendapatkan rezeki maka harus bersyukur baik kepada Allah (pencipta) maupun kepada orang lain yang menjadi perantara Allah dalam memberikan rezeki kepada kita. 

Cara bersyukur yang paling mudah dilakukan adalah dengan mengucapkan rasa terima kasih juga mengucapkan hamdalah sebagai pujian kepada Sang Pemberi rezeki. Hal baik yang mereka peroleh dari bacaan, akan langsung bisa mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari melalui penegasan guru sebagai upaya pendidikan karakter anak. Dengan begitu, dari meretas literasi kita akan menuai karakter.

Penulis: 

Kitty Andriany, S.Pd. 
(Guru Konsultan Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa)

###

Berita Lainnya

Index