SECARA ETIMOLOGI, ANARKIS menjelaskan tentang perilaku sebuah sistem berkuasa yang sering memaksakan kehendak untuk menekan kelompok inferior yang lain. Pada aspek ekonomi dan administrasi pemerintahan, perilaku anarkisme dapat diartikan sebagai upaya menumbuhkembangkan kekuatan superioritas untuk menekan kelompok-kelompok tertentu di dalam sistem tersebut. Anarkisme menurut Machiavelli tidaklah muncul dengan sendirinya, namun didorong oleh perilaku oligarkis pemerintah yang membentuk sistem yang jauh dari keadilan. Runtutan perilaku anarkisme dilandasi oleh sikap yang keliru terhadap perspektif demokrasi.
Seharusnya, demokrasi yang menjadi tujuan luhur kelompok kepentingan, dengan mengedepankan refleksi keinginan kelompok dengan memperhitungkan angka mayoritas pendukung, juga harus melibatkan keadilan yang utuh. Memang, demokrasi selalu terwakili dengan
konstitusi, namun apabila konstitusi tersebut tidaklah mengakomodasi keadilan sosial, maka muncullah anarkisme.
Demokrasi anarki yang selama ini kita kenal tidaklah selalu digambarkan dengan brutalisme demonstran dalam aksinya. Namun lebih dari pada itu, keprihatinan terhadap anarkisme tersebut muncul ketika kelompok kepentingan mayoritas menggunakan kewenangan dan kesempatannya untuk membangun sistematika pemerintahan yang tidak populis, memaksa, dan mereduksi keterbukaan.
Anarkisme tersebut dapat dimaklumi ketika dalam Pilkada, beban political cost terhitung sangat besar. Sumber-sumber ekonomis yang diperoleh
penguasa baru tentunya menjadi sumber yang diandalkan untuk menutup beban-beban tersebut.
Pilkada kekinian, dengan asumsi serentak dan menimbulkan polemik baru, adalah sebuah cita-cita efesiensi pemerintah untuk mengatur pelaksanaan pemilihan kepala daerah tersebut. Pemerintah seakan melupakan permasalahan mendasar, anarkisme. Anarkisme muncul karena sikap menentang dari kelompok masyarakat terhadap sebuah tatanan baku yang sudah ada.
Dapat dilihat bahwa, kekhawatiran terhadap perilaku partai politik yang mengklaim kepentingannya dengan mewakili orang banyak, sebagian besar kelompok orang dan kepentingan, justru mereduksi kelompok terwakili tersebut untuk mengemukakan pendapat substansinya. Sebagai bukti, mekanisme proses penjaringan calon eksekutif oleh partai tentunya tidak bisa mengakomodasi pilihan konstituennya, namun lebih bersifat subjektif karena alasan tertentu.
Kekhawatiran politik inilah yang nantinya dikenal sebagai proses antipolitik. Seringnya muncul ekses antipolitik ini dari dalam konstituen sendiri, karena disebabkan oleh proses yang tidak memuaskan kelompok yang terwakili tersebut.
Publik mengharapkan keadilan. Harus diingat bahwa, tatanan pemerintahan yang baik dan berwibawa apabila seluruh proses implementasi di dalamnya berlandaskan keadilan sosial. Quo vadis social justice ini? Keadilan sosial tidak hanya berbicara pada tataran law enforcement, kesetaraan ekonomi semata, namun lebih pada kesamarataan hak-hak yang ditimbulkan oleh ekses kebijakan.
Pilkada adalah sebuah muara kebijakan baru, karena eksekutif terpilih tentunya diharapkan memberikan segala sesuatu yang lebih, baik itu
keadilan dan kesetaraan, peningkatan ekonomi mikro, serta penguatan sektor riil. Dalam kajian landasan ideologis, keadilan sosial bersumber
pada kemampuan pemerintah untuk menciptakan kehidupan yang kondusif pada aspek pluralisme, demokrasi sosial, dan anarkisme.
Sebuah antitesis, apabila kita melihat kembali materi kampanye dan hasil yang muncul setelah eksekutif baru terpilih. Eksekutif sering disudutkan oleh minimnya kemampuan berdialektika menghadapi pluralisme masyarakatnya. Padahal, pluralisme ini mewakili pengertian banyaknya kepentingan
kelompok dalam civil society dalam masyarakat modern, sedangkan eksekutif sudah tidak lagi melayani kelompok yang diwakilinya dulu.
Antitesis tersebut meletakkan eksekutif pada posisi yang sulit, karena munculnya klaim atas peran kelompok terwakili dengan target pencapaian
pelayanan publik yang baik. Disorientasi terhadap distribusi political power untuk mengatur kebijakan sepertinya belum pernah dimiliki oleh
eksekutif selama ini.
Hal tersebut disebabkan oleh minimnya orientasi penguasa terhadap public service quality, political orientation, dan kepentingan dirinya sendiri. Sudah seharusnya pemerintah berkuasa mempunyai orientasi kuat terhadap pluralisme kepentingan, karena banyaknya kepentingan kelompok juga akan menentukan tingkat kepuasannya. Terlebih lagi, minimnya, dapat dikatakan tidak adanya public sphere dalam proses penyusunan kebijakan, dapat lebih menyudutkan pemerintah karena tidak terbuka, tidak akuntabel, juga sarat dengan perilaku yang korup. Seharusnya pluralisme menghadirkan kerangka pikir untuk mengedepankan rasionalitas ekonomi, reduksi terhadap dikotomi monopoly capital, juga memperbaiki manajemen pemerintah modern, karena keanekaragaman kepentingan dan cultural background seharusnya memberikan modifikasi kebijakan.
Public sphere atau ruang publik diciptakan dengan adanya semangat dan orientasi terhadap keterbukaan dan akuntabilitas, dengan harapan bahwa kelompok kepentingan, diwakili oleh civil society, dapat bertemu dengan pemerintah dalam proses kebijakan. Malu, itulah yang seharusnya dirasakan ketika berbicara ruang publik ketika euphoria otonomi daerah telah merampas kedaulatan civil society yang sebenarnya. Setelah melewati ratusan tahun sejak dikenalnya public sphere pada masa Renaissance di Eropa Barat, ruang publik ini juga belum ada di pemerintah secara kekinian, justru pemerintah lebih tertutup dalam implemetasi pemerintahannya.
Dari waktu ke waktu, Pilkada ternyata tidak memberikan ekses positif terhadap keadilan sosial, tetapi justru menyuguhkan arogansi-arogansi politik elit lokal dalam permainan local democracy. Demokrasi yang berkeadilan sebenarnya sangat sederhana, yaitu terbuka, komitmen pada pelayanan, akuntabilitas, dan kesetaraan ekonomi yang egalitarian. Rendahnya partisipasi pemilih aktif dalam Pilkada sepertinya merefleksi terhadap skeptisme civil societyterhadap elit-elit politik yang berkompetisi di dalamnya.
Skeptisme politik tersebut dinilai wajar, karena figur yang disuguhkan oleh partai politik dinilai tidak mempunyai standar minimum, yaitu
terkait tingkat pendidikan, komitmen terhadap pelayanan, kompetensi rendah, dan ketidaktahuannya terhadap governance.
Kompleksitas terminologi governance menjadikan pemerintah tidak mempunyai skala prioritas yang baku, sehingga selalu mendapatkan penilaian bahwa pemerintah berkuasa dinilai lalai dan tidak memegang komitmen pada janji kampanye yang lalu. Konstituen sepertinya sudah tidak lagi memandang subyek yang dipilih nantinya dengan penilaian kharisma, kesukuan, ataupun kapital, karena merosotnya penilaian pemimpin kharismatis ini lebih mengedepankan kondisi politik yang kontemporer, dan tidak dapat digunakan pada kondisi masyarakat yang sekuler (sebut:moderen).
Kepemimpinan yang moderen dan baik ketika subyek dalam kekuasaan tersebut dapat lebih peka dan terbuka dalam implementasi kebijakan, komitmen pada rasionalisasi pembangunan, dan birokratisasi masyarakat. Dapat dipastikan bahwa pemimpin kharismatik sudah tidak lagi relevan dengan Pilkada sekarang ini, kecuali, seperti pendapat Weber, pemimpin tersebut dapat mentransfer kesetiaan konstituen ke dalam sistem pemerintah yang institusional, sehingga stabilitas pemerintah tetap terjamin. Namun, apabila pemimpin kharismatik ini tidak dapat membawa konstituennya, maka instabilitas akan muncul, terlebih lagi pemimpin ini mempunyai perilaku yang korup.
Harapan terhadap Pilkada serentak ini sangatlah besar bagi pemilih. Dengan adanya peraturan-peraturan baru, perangkat pengawasan yang mutakhir, serta aliansi pendampingan Pilkada yang semakin banyak, seharusnya partai politik lebih mengedepankan asas-asas demokrasi yang hakiki, pencitraan kader yang tinggi, serta berorientasi pada aspek pembangunan civil society dengan lebih matang. Harapan rakyat sangat sederhana, pemimpin yang mereka pilih dapat mengerti akan hak-hak masyarakat sipil, keterbukaan proses penyusunan kebijakan, legalitarian ekonomi dan sosial, serta penegakan hukum.***(Bandara Raden Mas R. Anindya, MPA)
(Penulis adalah pemerhati kebijakan, Ketua Presidium Jawa Manunggal Riau)
###
