Oleh : H Daswanto
JIKA kita mencermati bersama bahwa salah satu permasalahan fundamental yang dihadapi oleh Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten/Kota se Provinsi Riau di dalam melaksanakan pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional adalah bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau sebagai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang hingga saat ini belum disahkan, karena masih tersandera konflik kepentingan dan ego sektoral Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Berbagai dampak negative pun bermunculan kepermukaan antara lain adalah konflik agraria, konflik lahan dan konflik kehutanan di daerah ini dari waktu ke waktu semakin rumit dan kompleks untuk dicarikan solusi penyelesaian masalahnya, karena keterbatasan kewenangan Pemerintah Daerah dan dominannya peranan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.
Padahal jika ditelusuri kembali kronologis revisi RTRW Provinsi Riau yang telah diatur di dalam Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 1994 adalah dalam rangka upaya mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jika kondisi ketersanderaan itu terus berlangsung, disana pasti ada perbuatan melawan hukum, ada sikap inkonsistensi di dalam penerapan undang-undang. Pertanyaan yang cukup relevan untuk kita kaji telaah adalah “apakah amanat sebuah undang-undang bisa tidak terlaksana hanya karena sebuah hegemoni, sebuah ego sektoral kementerian ?” Pada sisi lain, dalam realitas sosialnya filosofi “hutan untuk kesejahteraan rakyat (forets for the people)”, sungguh masih amat jauh panggang dari api. Kenyataan yang ada hari ini dan untuk kurun waktu ke depan adalah “hutan untuk konglomerat, sehingga masyarakat di kawasan hutan makin melarat”.
Tulisan ini tidak bermaksud mendedah secara mendalam persoalan besar yang sedang dihadapi Pemerintah Provinsi Riau, akan tetapi hanya sekedar mengajak semua pihak untuk kembali melakukan perenungan ulang, betapa lemahnya daya ungkit kita di dalam memperjuangkan dan mengimplementasikan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Pada hal undang-undang tersebut menghendaki : (1) Perda RTRW Provinsi harus sudah disesuaikan paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun. Hingga saat ini dalam hitungan saya sudah 7 (tujuh) tahun; (2) Jangka waktu rencana 20 tahun (Pasal 23 ayat 3) sehingga Riau mengajukan periodesasi RTRW 2007-2026, saat ini sudah tertunda selama 7 (tujuh) tahun: (3) Pemenuhan ratio kawasan hutan minimal 30 % luas daerah aliran sungai (Pasal 17 ayat 5); (4). Memberikan akses ke kawasan milik umum/public (Pasal 61 ayat d); (5). Insentif dan Disinsentif (Pasal 38 ayat 1); (6) Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi (Pasal 23 ayat 1).
Pada sisi lain, adalah amanat Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN dan Draft RTRW Pulau Sumatera yang mengamanatkan : (1) RTRW Provinsi harus mengacu kepada RTRWN; (2) RTRW Provinsi harus mengacu pada RTRW Pulau Sumatera; (3) Sinkronisasi pemanfaatan ruang di kawasan perbatasan provinsi. Secara factual Provinsi Riau pada saat yang bersamaan juga dihadapkan kepada fakta tuntutan pengembangan wilayah dan kebutuhan nyata untuk mewujudkan keseimbangan dan kelestarian lingkungan, dimana fenomena yang muncul antara lain : (1) permintaan lahan meningkat sejalan dengan peningkatan investasi pemerintah dan swasta dalam rangka upaya pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat; (RTRW Provinsi Riau (Perda 10 Tahun 1994) sudah tidak factual dan tidak lagi mampu mengantisipasi dinamika tuntutan perkembangan dan kemajuan daerah; dan (3) Keseimbangan alam dan kelestarian lingkungan mulai bahkan makin terganggu; serta (4) Kebutuhan untuk meningkatkan dan memantapkan struktur ruang wilayah pasca pemekaran Provinsi Kepulauan Riau.
Paling tidak itulah landasan atau latar belakang pemikiran pengajuan RTRW Provinsi Riau 2007 – 2026. Karena itu pula Pemerintah Provinsi Riau telah bertungkus lumus melakukan berbagai langkah-langkah antara lain : (1) Penyusunan dan pembahasan draft RTRWP dengan melibatkan konsultan, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Dunia Usaha, Perguruan Tinggi, LSM dan tokoh masyarakat sejak tahun 2001; (2) Pembahasan draft RTRWP dengan stakeholder (Dunia usaha, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota) tanggal 11 April 2007; (3) Penyampaian draft RTRWP ke DPRD Riau pada tanggal 12 April 2007; (4) Studi banding DPRD dan BKPRD ke Jawa Barat tanggal 12 Juni 2007; (5) Konsultasi ke BKTRN tanggal 11 Juni dan 25 Oktober 2007; dan (6) Konsultasi dan ekspose di Departemen Kehutanan tanggal 20 Oktober 2008; (6) Penyampaian Draft RTRW Provinsi Riau dan Rancangan Peraturan Daerah beserta album peta kepada Menteri Kehutanan dan Menteri Pekerjaan Umum pada tanggal 5 Mei 2009; (7) Evaluasi dari Departemen Pekerjaan Umum Cq Dirjen Penataan Ruang dilaksanakan beberapa kali konsultasi dan asistensi kemudian clearance house pada tanggal 14 Desember 2009; dan (8) Evaluasi substansi kehutanan melalui Tim Terpadu Departemen Kehutanan, telah dilaksanakan kunjungan lapangan dan beberapa kali pertemuan sampai saat ini masih dalam proses.
Meskipun Pemerintah Provinsi Riau telah berupaya dan berjuang dengan segala daya dan upaya serta biaya yang cukup mahal untuk membiayai kepentingan Kementerian Kehutanan di dalam berbagai forum pertemuan atau rapat pembahasan sejak draf awal RTRW. Namun rapat-rapat yang dilakukan dengan jajaran Kementerian Kehutanan Republik Indonesia tetap tidak pernah mendapatkan sebuah kesepakatan yang bersifat win-win solution. Kondisi ini adalah sesuatu yang amat ironis, karena hutan yang dikelola dengan kewenangan superbody oleh Kementerian Kehutanan itu berada dalam wilayah Provinsi Riau.
Latar belakang masalah, data dan fakta tersebut di atas menyimpulkan bahwa harapan pemerintah Provinsi Riau untuk sesegera mungkin mendapatkan persetujuan substansi RTRW Provinsi Riau dari Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, tak akan kunjung ada dan menjadi harapan yang sirna. Hasil kerja keras dari semua stakeholder dan para pihak yang sudah berkontribusi bagi tersusunnya sebuah Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau justeru menghadapi jalan buntu. Jalan buntu itu bernama “hegemoni atau ego sektoral kementerian kehutanan”. Pertanyaan yang perlu kita dialogkan adalah “sampai kapan hegemoni dan ego sektoral kementerian kehutanan itu akan berakhir atau bagaimana kita secara arif dan bijak bestari mencari solusi yang bersifat fundamental untuk meluluhlantakkan hegemoni dan ego sektoral kementerian kehutanan itu ?”.
Pertanyaan dan dialog ini perlu segera ditaja, karena menyangkut dengan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008. Dan yang paling hakiki adalah harkat dan martabat masyarakat Provinsi Riau sebagai bagian integral dari Republik Indonesia. Mengapa sebuah Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah harus tersandera dan terbelenggu oleh kepentingan sebuah Kementerian Kehutanan, padahal hutan itu berada di wilayah Provinsi Riau dan hutan itu tumbuh di atas tanah, bukan di atas hutan atau langit kementerian kehutanan. Tetapi di atas bumi persada ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dalam konteks ini barangkali ada beberapa landasan pemikiran teoritis yang perlu kita akomodasikan di dalam proses perjuangan untuk mendapatkan persetujuan kementerian kehutanan, misalnya berapa sudah total dana yang kita keluarkan untuk membiayai tim terpadu kementerian kehutahan.
Jika hanya untuk sebuah ketidaksetujuan dan ketidakpastian dengan alasan yang bersifat sgo sektoral, sudah waktunya untuk dimintakan pertanggungjawaban moral etis kebangsaan para pejabat dan tim terpadu tersebut. Atau sebaliknya, pertanggunggugatan atas dampak dan manfaat dari biaya yang dikeluarkan, namun tidak membuahkan hasil apa-apa. Atau tidak kunjung lahir dan munculnya persetujuan Kementerian Kehutanan ini dianggap sebagai sebuah perbuatan hukum pembiaran yang melanggar hak azasi masyarakat dan Pemerintah Provinsi Riau, dengan segala dampak-dampak yang ditimbulkan karena belum adanya RTRW Provinsi Riau.
Bukankah Profesor Satjipto Rahardjo, Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro Semarang menjelaskan kepada kita bahwa, cara kita berhukum sebaiknya dilakukan dengan memfungsikan hukum untuk menghadapi totalitas kehidupan bangsa, terutama pada saat bangsa Indonesia dihadapkan kepada berbagai masalah besar. Memfungsikan hukum, bukan menjadikan hukum sebagai “mesin besar perundang-undangan”, yang difungsikan dengan pola pikir yang hanya sibuk bagaimana menghukum para pelanggar pasal-pasal perundang-undangan, sementara kita lupa bagaimana memecahkan problema besar social bangsa dengan menggunakan hukum sebagai pranata social dan sepatutnya.
Dalam penegakan hukum yang berorientasi pada memecahkan probelama social yang dihadapi bangsa ini, kata Profesor Satjipto, seharusnya dengan cara menerapkan hukum secara logis dan rasional. Dan karenanya hukum akan merasakan problema social sebagai masalah hukum. Penegakan hukum secara demikian tidak sekedar memfungsikan “matematika hukum”, melainkan mesti mengerahkan seluruh potensi hukum seperti : konsep, paradigm, dan manusia guna menjawab tantangan pemecahan masalah besar social di negeri ini. Ditegaskannya bahwa “Kita tidak dapat lagi menjalankan hukum sebagai business as usual, tetapi secara progresif dan kreatif mencari avenues baru mengatasi masalah besar bangsa”.
Merujuk kepada pendapat Profesor Satjipto, maka Herman Hermit berpandangan bahwa sejalan dengan peran hukum dan cara berhukum yang rasional dan berorientasi pada pemecahan totalitas masalah social besar yang dihadapi bangsa, dan dengan mengasumsikan UU Penataan Ruang ini “identik” dengan suatu kerangka kerja planning bagi system pengaturan pemanfaatan ruang entitas Indonesia yang unik, serta karenanya UU Penataan Ruang ini dapat dipahami sebagai fungsi yang membantu manusia Indonesia mengorganisasikan perilakunya untuk mencapai perwujudan pemanfaatan ruang yang diinginkan/disepakati.
Kerangka pemikiran Profesor Satjipto dan Herman Hermit di atas, sangat menarik untuk kita memulai menguntai benang kusut hegemoni dan ego sektoral Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, landasan pemikiran mereka dengan hanya Peraturan Menteri Kehutanan tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) saja untuk membelenggu RTRW Provinsi Riau adalah teramat lemah dan naïf, karena mengangkangi undang-undang dan peraturan pemerintah. Bisnis kehutanan yang telah memporakporandakan hutan di Provinsi Riau sudah harus segera diakhiri, jika tidak potensi konflik vertical dan horizontal akan terbuka lebar ke depan. Penegakan hukum kehutanan dengan pola reaktif oleh para penegak hukum yang selama ini terus terjadi harus diformulasi ulang ke dalam kerangka menjalankan undang-undang secara progresif dan kreatif mencari avenues baru mengatasi persoalan hutan dan lahan di Provinsi Riau.
Hutan belantara yang tumbuh di atas tanah, tidak hanya harus dikelola dengan Undang-Undang Kehutanan Nomor 41Tahun 1999 , tetapi harus juga mempedomani kaidah dasar hukum lainnya seperti ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menggariskan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam hal ini sangat jelas bahwa Negara hanya menguasai dan bukan memiliki sumber-sumber daya ruang, dan bahwa menguasai pun dalam konteks pelayanan jasa public dari pemerintah terhadap rakyat. Secara eksplisit amanat UUD ini menegaskan bahwa rakyat (perorangan dan badan hukum) yang dilayani oleh pemerintah itu sendiri boleh memiliki sumber-sumber daya ruang bawah bumi.
Karena itulah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 21 ayat (1) dinyatakan, “ Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”. Di dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 juuga menegaskan norma pengakuan/penghormatan kepada hak milik perseorangan atau badan hukum melalui Pasal 7 ayat (3) yang menggariskan, “Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Di dalam penjelasannya dinyatakan bahwa “hak yang dimiliki orang mencakup pula hak yang dimiliki masyarakat adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Tersanderanya RTRW Provinsi Riau oleh hegemoni Kementerian Kehutanan dengan alasan ketidaksesuaian dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan yang diatur di dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 173?Kpts-II/1986 telah pula berimplikasi pada pengangkangan hak penguasaan pemerintah daerah provinsi atas sumber daya ruang dan konteksnya diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 yang menggariskan, “Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi : a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota; b. pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi; c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan d. kerjasama penataan ruang antar provinsi dan pemfasilitasan kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota”.
Berdasarkan analisis kami yang sangat awam dan dangkal terhadap hegemoni dan ego sektoral kementerian kehutanan tersebut di atas, sudah selayaknya para pemangku kepentingan dan seluruh potensi efektif Provinsi Riau dan Kabupaten/Kota berjuang bersama-sama untuk mengangkat harkat dan martabat daerah ini. Karena masa penyanderaan sudah cukup lama, upaya lobi pastilah tidak akan membuahkan hasil yang diharapkan. Namun karena menyangkut hajat hidup daerah dan masyarakat, sudah waktunya dilakukan penyelesaian melalui proses hukum.
Entah dengan melakukan uji materi Peraturan Menteri Kehutanan tentang TGHK, entah mensomasi Kementerian Kehutanan karena telah melakukan tindak pelanggaran berupa pembiaran RTRW Propisi Riau. Semua itu kita serahkan kepada para ahli dan akademisi serta para pihak yang merasa terpanggil hatinuraninya untuk keluar dari situasi penyanderaan dan keterbelengguan yang mengcekeram selama ini. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat hendaknya. Amin.***
Penulis adalah Kepala BPM Bangdes Provinsi Riau
###
