Gaharu, Mampukah Tetap Bertahan Menjadi Potensi Kekayaan Negeri?

Gaharu, Mampukah Tetap Bertahan Menjadi Potensi Kekayaan Negeri?
Gaharu, Mampukah Tetap Bertahan Menjadi Potensi Kekayaan Negeri?###

Agarwood atau gaharu merupakan hasil resin dari kayu spesies Aquilarias khususnya jenis A. malaccensis(jenis terbaik) yang keberadaannya diincar dan sangat diminati oleh berbagai kalangan dari seluruh penjuru dunia. Produk dari jenis kayu ini sangat bermanfaat dalam berbagai bidang kehidupan. 

Gaharu yang merupakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) ini tercatat hanya ada sekitar 20 hingga 27 spesies dari seluruh dunia dan Indonesia memiliki 7diantaranya. Gaharu mudah sekali berkembang biak dan tumbuh di daerah hutan tropis seperti Indonesia, China, Asia Tenggara, hingga Hindia. Hutan Kalimantanmerupakan penghasil gaharu dengan kualitas terbaik di dunia yang harganya bisa menyentuh ratusan juta per kilogramnya di pasar global.
Sebenarnya apasih yang dihasilkan gaharu? Bagaimana?.
 
Yang bernilai sangat tinggi pada kayu jenis ini adalah kemampuannya dalam menghasilkan resin gaharu. Resin sendiri adalah eksudat atau getah yang dihasilkan oleh pertemuan antara mikroba dan jaringan tumbuhan. Ketika dahan pohon patah atau kulit kayu terkelupas, mikroba akan masuk dan bertemu dengan jaringan tumbuhan. 

Mikroba yang masuk akan dianggap benda asing oleh sel tumbuhan dan akan menghasilkan suatu senyawa fitoaleksin yang berfungsi sebagai antibodi atau pentagon. Singkatnya, ketika mikroba berhasil dikalahkan, terbentuklah resin, namun apabila mikroba yang menginfeksi tanaman dapat mengalahkan sistem pertahanan tanaman maka gaharu tidak terbentuk dan bagian tanaman yang luka malah dapat membusuk.

Selain resin yang menghasilkan aroma wangi yang sangat khas, kayunya pun juga bernilai tinggi. Kayu gaharu yang berwarna hitam membuat banyak orang berminat menggunakannya sebagai pelengkap bahan bangunan, perabotan, dan furniture interior. Begitu juga sulingan daunnya yang dapat menghasilkan minyak wangi aroma terapi yang dipercaya bisa mengobati stress.

Darimana saja permintaan terhadap gaharu datang?.
 
Indonesia merupakan negara pengekspor gaharu terbesar di dunia. Sudah sejak ratusan tahun lalu Nusantara melakukan ekspor gaharu keberbagai negara  seperti Saudi Arabia, Persia, Kuwait, Yaman, Turki, Singapura, Jepang, China, AS, hingga Afrika Timur dan khususnya daerah Timur Tengah, China, Taiwan, Hongkong dan United Emirat.

Dikutip dari Kompas, Nilai Ekspor gaharu tahun 2013 mencapai 758 ton ke Timur Tengah dan China. Penggunaan terbesar untuk terapi dan acara diimpor oleh Timur Tengah. Tetapi untuk penggunaan patung, tasbih, diimpor oleh China. Ketua Asosiasi Gaharu Indonesia, Mashur Elias, juga mengatakan bahwa 758 ton merupakan kuota terbesar di dunia.Gaharu diekspor dalam 3 bentuk dasar yaitu serpihan (chips), balok kayu, dan abu (powder).

Alasan gaharu sangat diminati oleh pasar internasional dengan harga yang tinggi. 

Pada ilmu ekonomi, semakin tinggi permintaan akan suatu barang, maka akan semakin tinggi pula harga yang dapat ditawarkan. Begitu pula pada gaharu. Produktifitas gaharu lambat laun terus menurun, sementara permintaannya terus berjalan, sehingga harga semakin melangit saja.

Menurut laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2015 harga satu kilogram gaharu dapat mencapai Rp650 ribu hingga Rp400 juta, tergantung dari kualitas gaharu.

Di pasar global permintaan terhadap gaharu sangatlah menjanjikan meskipun permintaan dari dalam negeri justru tidak banyak. Kementerian Perdagangan melaporkan bahwa gaharu asal Indonesia memiliki pasar yang cukup besar di Arab Saudi.

Tak kalah dari itu, sejak China membuka pintu ekspor pada tahun 2011(para eksportir mengurus surat izin ke China), akhirnya kita bisa langsung ekspor gaharu ke China tanpa perantara. Sejak ini, posisi ekspor ke China meningkat lebih banyak daripada ke Timur Tengah. 

Semua bagian dari gaharu dapat dijadikan produk yang bermanfaat, beberapa diantaranya adalah dari sisi kesehatan, kayu gaharu yang telah diolah menjadi minyak astiridigunakan untuk pengobatan tradisional. Olahan kepingan batangnya dapat menurunkan tekanan darah. Mencegah penyakit tumor dan sebagai antioksidan penting. Gaharu sendiri juga digunakan sebagai bahan parfum karena aroma “kayu para dewa”-nya yang sangat khas.

Pemanfaatan gaharu ini bahkan sudah dikenal ribuan tahun lalu di Timur Tengah. Dalam kitab Perjanjian Lama disebutkan orang-orang Timur Tengah memanfaatkan gaharu untuk pengobatan dan wewangian. Sementara dalam Sahih Muslim sekitar abad kedelapan silam disebutkan gaharu dipakai para tabib untuk pengobatan.Menurut Rozi Mohamed dalam Agarwood: Science Behind the Fragrance (2016) masyarakat Nusantara telah melakukan perdagangan gaharu alami dengan Cina sejak zaman Jalan Sutera.

Kelangkaan dan khasiat yang sangat berharga dari setiap bagian pohonnya membuat gaharu menjadi produk yang sangat diminati oleh pasar internasional. 
Kendala dalam usaha gaharu.

Gaharu merupakan jenis kayu langka dan membutuhkan waktu yang sangat lama sampai kayu siap dipasarkan. Tumbuhan ini tidak bisa dipanen secara berkala sebab resin hanya dapat terbentuk secara alami. Harga dari gaharu sendiri berbeda-beda ditentukan oleh kualitas gaharu yang dibagi menjadi beberapa grade dan grade paling tinggi adalah super king yang harganya bisa menyentuh ratusan juta rupiah per kilogram.

Kualitas dari gaharu juga sangat ditentukan oleh jenis pohonnya, proses pembentukan resinnya, umur, aroma, kadar resin, warna kayu. Semakin padat resin dalam gubal, semakin naik kualitasnya. 

Maka dari itu dibutuhkan teknik dan perencanaan yang bagus oleh pengusahayang melakukan budidaya pohon gaharu. Hal inilah yang membuat para pengusaha lebih suka “memburu” pohon gaharu di hutan ketimbang melakukan budidaya. 

Karena untuk siap dipasarkan, budidaya (direkayasa atau inokulasi)harus menunggu dalam waktu paling cepat 3 sampai 5 tahun hingga siap panen. Ini pun hanya menghasilkan gaharu kelas medang atau tri-chip. Namun, tetap saja harga gaharu kelas medang bisa menyentuh angka di atas 20 juta rupiah.

Sementara kualitas gaharu terbaik dari alam juga membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk siap panen, bisa sampai ratusan bahkan hingga ribuan tahun. 
Masalah dan Solusi. 

Akibat dari “perburuan”untuk menemukan gaharu dengankualitas tinggi di hutan, para pengusahamenjadi terfokus membabat pohon-pohon untuk mencari pohon penghasil gaharu. Karena kurangnya pengetahuan yang jelasmereka menebang puluhan pohon yang salah (tidak menghasilkan gaharu) sehingga jumlah pohon kian lama semakin berkurang.

Hutan Indonesia merupakan hutan terluas urutan ke-3 di dunia setelah Brazil dan Kongo, namun hutan Indonesia juga mempunyai tingkat kehancuran hutan tercepat di planet menurut Guinness World Records. 

Dengan kejadian belakangan ini terkait kebakaran hutan di banyak titik di Indonesia, semakin menambah risiko akan kepunahan sumber daya alam berharga yang semestinya dijaga oleh rakyat dan pemerintah seperti pohon gaharu ini. 

Oleh sebab itu tahun 1994, pada konvensi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) di Amerika Serikat menetapkan bahwa pohon gaharu spesies A. malaccensis masuk ke dalam Appendix II (tanaman yang dibatasi perdagangannya). 

Pada tahun 2004, Indonesia mengajukan agar semua penghasil gaharu alam yaitu genus Aquilaria dan Grynops dimasukkan dalam daftar Appendix 2 untuk membatasi perdagangannya sehingga perdagangan gaharu harus memiliki izin dari CITES dan dalam kuota tertentu. Hal ini dilakukan untuk memastikan spesies pohon gaharu alam dapat berkembang dan tersebar dengan baik. 

Tentu saja pembatasan ini harus diikut dengan cara melakukan budidaya yang benar mulai dari sekarang agar kelak di masa depan peluang ekspor dari gaharu dapat ditingkatkan dan dipertahankan oleh Indonesia. 
 
Diikuti lagi dengan pendapat dari Ketua Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (ASEPHI) Kalimantan Selatan, San Santi, menyatakan keprihatinannya atas produksi kayu gaharu Indonesia semakin tertinggal jauh dengan negara Malaysia. Padahal Malaysia hanya mempelajari, lalu membawa bibit dan mengembangkan di sana. 

Di Malaysia, kata San, ada satu perusahaan besar yang berfokus menanam kayu gaharu di areal seluas 3 ribu hektare. Pada National Timber Industry Policy (NATIP) Malaysia, juga sudahtercantum pada Road Maps and Action Plans-nyamengenai Pembangunan Industri Karas & Gaharu 2011-2021.

Di sisi lain, perdagangan gaharu tidak lepas dari praktik-praktik ilegal. Antara September 2014 lalu melaporkan praktik perdagangan ilegal gaharu terjadi di wilayah-wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Perdagangan ilegal ini berhasil digagalkan oleh Komandan Korem 121/Abw, Kolonel Inf Alfret Denny D. Tauejeh dan pasukannya di wilayah perbatasan di Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat.

“Kayu gaharu yang ditangkap ada 3 ton dan kasusnya sudah diserahkan ke kepolisian,” katanya. 

Bukankan hal ini patut disesalkan?. Bisa dikatakan bahwa Indonesia belum memaksimalkan pembudidayaan gaharu. Dengan alasan; pertama, diketahui bahwa salah satu Negara tujuan ekspor terbesar gaharu, Timur Tengah, melakukan pengolahan lagi terhadap gaharu yang mereka impor dari Indonesia. 

Mereka membuat inovasi baru dengan mencampur beberapa aroma yang menghasilkan aroma-aroma baru yang kemudian mereka ekspor ke Negara-negara Eropa yang tentunya memiliki nilai tambah yang lebih tinggi dari ekspor yang dilakukan Indonesia. 

Hal inilah yang harus dijadikan PR untuk pemerintah maupun pengusaha gaharu dalam memaksimalkan potensi gaharu agar berfokus untuk memberi nilai tambah pada produk ekspor . Solusi dapat berupa sosialisasi dan pengembangan pengetahuan kepada pengusaha-pengusaha gaharu terkait budidaya yang lebih optimal dan inovasi baru.
 
Terakhir, pada 2013 tercatat ekspor gaharu hasil budidaya baru sekitar 100 ton sementara ekspor gaharu alam liar menembus hingga lebih dari 800 ton. Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia masih mengandalkan gaharu alami ketimbang budidaya. Sementara jika hanya mengandalkan gaharu alami, dibutuhkan waktu yang sangat lama bagi pohon untuk menghasilkan gaharu alami dan risiko semakin menipisnya hutan Indonesia kian meningkat. **

Penulis:  Nurfitri Aulia, mahasiswi Politeknik Statistika STIS, Jakarta.
 

###

Berita Lainnya

Index